ANDIKA WIJAYA.MA CV.ANNURO LAMPUNG + Digital Printing And Design 085377911974
APAKAH AKAL YANG TUNDUK DENGAN HATI, ATAU SEBALIK-NYA HATI YANG TUNDUK AKAN AKAL
ANIMASI MUSIC
Kamis, 01 Juni 2017
Selasa, 03 September 2013
Selasa, 26 Maret 2013
Jumat, 12 Oktober 2012
MAKALAH HADITS HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN
Tugas Individu
HADITS HADITS TENTANG
KEPEMIMPINAN
Di Susun Oleh:
Nama :
Andika Wijaya. MA
NPM :
0721.020016
Jurusan :
Jinayah Siyasah
MK :
Hadits Ahkam
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISALAM NEGERI LAMPUNG
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan
lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam
kelompok kecil.
Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang
harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai.
Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap
insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi
dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir,
kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan
kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan
baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah
dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa
pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola
diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan
masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan
baik.
Dari latar belakang masalah yang
penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tsb
antara lain :
1. Apakah
setiap orang itu adalah pemimpin?
2. Apa hukuman bagi pemimpin yang tidak
bertanggunga jawab?
3. Apa batasan
ketaatan terhadap pemimpin?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Setiap Muslim adalah Pemimpin
Naiknya seseorang di atas puncak
pemimpin dalam suatu organisasi dan negara, bukan hanya dukungan masyarakat
atau karena pemilihan dan surat pengangkatan akan tetapi sebenarnya karena
kehendak Allah Swt. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 10:
ôs)s9ur öNà6»¨Z©3tB Îû ÇÚöF{$# $uZù=yèy_ur öNä3s9 $pkÏù |·Í»yètB 3 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±s? ÇÊÉÈ
”Sungguh Kami telah menempatkan
kamu sekalian di muka bumi dan kami telah menjadikan kamu sekalian di bumi itu
sumber penghidupan. Sedikit sekali kamu yang bersyukur”.
Selanjutnya banyak hadits yang menjelaskan, bahwa
setiap orang, adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah tentang kepemimpianannya.hadits diantaranya
dalam kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan No.1199 sebagai berikut :
عَبْدُ اللهِ بْنِِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, ٲن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ
: كلكم
راع فمسؤل عن رعيته, فالأمير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم, والرجل راع على
أهل بيته وهومسؤل عنهم, والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤله عنهم, والعبد راع على
مال سيده وهو مسؤل عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته. (رواه البخار و مسلم)
Artinya :
“Rosulullah
SAW. bersabda : "Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan
bertanggungjawab terhadap rakyatnya, seorang Raja memelihara rakyat dan akan
ditanya tentang pemeliharaannya, seorang suami memimpin keluarganya dan akan
ditanya tentang pimpinannya, seorang ibu memimpin rumah suaminya dan
anak-anaknya dan akan ditanya tentang pimpinannya, seorang hamba memelihata
harta milik majikannya dann akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkanlah
bahwa kalian semua memelihara dan akan dituntut tentang pemeliharaannya".
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut kita mengetahui,bahwa
setiap orang yang menjadi pemimpin pasti akan dimintai suatu
pertanggungjawabannya oleh Allah, sesuai tingkat kepemimpinannya itu:
·
Para tokoh masyarakat dan penguasa adalah pemimpin
dalam suatu Negara atau organisasi. Mereka akan ditanya “apakah mereka sudah
mendidik masyarakatnya menjadi orang yang beriman dan bertaqwa?”.
·
Suami dalam rumah tangga adalah pemimpin dalam
keluarganya dan semua suami akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang
istri dan anaknya. “apakah mereka sudah berusaha mendidik mereka menjadi
orang-orang yang sholeh atau belum?”
·
Istri-istri yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga
suaminya.mereka semua juga akan dimintai pertanggungjawabannya. “ Apakah mereka
sudah menjalankan tugasnya sebagai istri yang sholehah, ibu rumah tangga yang
baik atau belum?”
Pada intinya apa yang dikemukakan dalam hadits
tersebut hanya sebagai contoh belaka, sebab permulaan hadits tersebut
menegaskan bahawa setiap orang menjadi pemimpin.
2.2. Pemimpin Pelayan Masyarakat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي
ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ
الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا
بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ
أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ
دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ
وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada
muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi
oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari
hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan
kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk
melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin
sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di
atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun
setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin
tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda
dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan
majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks
indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan”
rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur,
kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus
segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
2.3. Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap
pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw :
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa
yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka
apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas
menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin
tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at
dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak
atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin
itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara bahasa
ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara
istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila
kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam
pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih
menghapus kema’siyatan.
Padahal
kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di
kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang
samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor
departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid
sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan
di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh
para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah
korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin
negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat
kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai
berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk
dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi
anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk
ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak
melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang
durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan
demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap
pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai
allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan
pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa
apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta
tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan
terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu
sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi
ini.
Kriteria-kriteria
pemimpin yang wajib kita taati :
1. Islam
2. Mengikuti
perintah-perintah Allah dsan Rosul-Nya
3. Menyuruh
berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4. Lebih
mementingkan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi
5. Tidak
mendzalimi umat Islam
6. Memberikan
teladan dalam beribadah
2.4 Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya
telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan
diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami
akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara
rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan
seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik
majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian
pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang
dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya,
hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya
terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya,
seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung
jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya,
dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.
Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak
yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala
dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus
merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya.
Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan
binatang gembalanya.
Tapi cerita
gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang,
sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah
akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri
bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh
hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya
tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang
sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
2.5 Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ
يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ
حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ
عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً
يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata:
saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh
allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya,
melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran
adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran,
kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan,
bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya,
maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu
pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam
kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah
organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak
jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara
garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang
dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan
melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam
hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk
sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak
jujur dan suka menipu rakayat.
2.6 Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ
فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ
عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ
الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ
مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ
كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a,
ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu
yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR.
Buchary, Muslim)
BAB III
P E N U T U P
P E N U T U P
3.1. Kesimpulan
Bahwa setiap manusia adalah pemimpin
dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang
telah mereka pimpin sesuai tingkat kepemimpinannya itu.Kata pemimpin, dalam hal
ini bukan hanya berarti kepala negara melainkan bersifat umum.
Kepemimpinan serta kekuasaan
memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin
bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin
yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya,
keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana
nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan
diterapkan.
Rahasia utama pemimpin adalah
kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya,
tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras
memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau
jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership
from the inside out).
Dalam pembahasan sudah disebutkan
bahwa pemimpin yang tidak bertanggungjawab mendapat ancaman :
1. Sholatnya
tidak akan diterima oleh Allah.
2. Tidak akan
masuk surga, bahkan tidak akan mencium bau surga itu.
3. Mendapat
siksaan 2 kali lipat siksaan rakyat yang dipimpinnya.
Mematuhi peraturan pemimpin suatu kewajiban dan keharusan bagi kita sebagai umat islam, akan tetapi ketaatan kita terhadap pemimpin itu ada batasannya yaitu apabila pemimpin tersebut menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran, maka kita wajib mentaatinya, begitupula sebaliknya apabila pemimpin menyuruh kita berbuat ke arah maksiat, maka kita wajib menolak dan meluruskannya, hanya saja penolakan dan pembenarannya harus dilakukan dengan arif dan bijaksana demi persatuan dan kesatuan bangsa atau umat.
Sangat diperlukan sekali jiwa
kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu
dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
3.2.Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa
kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu
dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
Jika saja Indonesia memiliki
pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun
kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika
pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak
mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin
kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
Langganan:
Postingan (Atom)